By: Drara Novia Dwi A.
Suatu hari di perjalanan mengantar Adik ke sekolah...
“Mba,
apa itu hidup dan nikmat hidup?,” tanyanya dengan wajah polos. Maklum
saja, gadis yang duduk santai di jok belakang motor yang dikendarai saya
ini baru berumur 10 tahun. Awalnya saya kikuk mendengar pertanyaan asal
itu. Sedikit kagum juga atas pertanyaannya.
“Hidup
itu saat kita masih bisa bernafas, sedangkan nikmat hidup adalah saat
kita masih diberi kesehatan” jawab saya ringan. Terlihat di kaca spion
dia mengangguk pelan. Entah mengerti atau ragu dengan jawaban saya. Dia
tampak berfikir. Saya tersenyum dan melanjutkan kalimat tadi. “Ketika
kita masih bisa bernafas dan diberi kesehatan bukankah kita bisa
melakukan apapun? Kita masih bisa makan dan minum, masih bisa belajar
dan yang lebih penting masih bisa beribadah kepada Tuhan,” imbuh saya.
Lagi-lagi dia mengangguk.
“Cuma itu mba?,” tanyanya lagi. Kali ini dia terlihat menerka-nerka sambil memandang ke arah cakrawala. Saya mengangguk.
“Dengan
beribadah, hidup yang kita jalani akan terasa lebih bermakna. Karena
Tuhan menciptakan kita untuk beribadah, bukan hanya bermain,” saya
menekankan kalimat terakhir saya. Entah gadis kecil di balik punggung
saya mengerti atau tidak. Dia terlihat masih canggung dengan jawaban
saya. “Begini saja sayang, bayangkan kalau kehidupan itu seperti
secangkir gelas kosong, kemudian gelas kosong itu dituang dengan air.
Air itulah nikmat hidup. Apapun bentuk air itu, itulah nikmat hidup yang
kita maknai sendiri,” saya sedikit menggunakan bahasa yang mudah dia
mengerti. Dia tampak lebih sumringah sekarang.
“Terus, air itu di apakan lagi Mba?,”
“Emmmmmm..
Itulah tahapan hidup yang selanjutnya. Setelah kita diberi nafas oleh
Tuhan, kita di beri nikmat berupa kesehatan, yang harus kita lakukan
adalah mensyukurinya,” Saya sedikit memperlambat laju motor saya. Jam di
tangan masih menunjukkan pukul 06.30, jadi saya agak santai. Lagian,
gadis kecil ini nampaknya masih butuh klarifikasi tentang filosofi saya.
Terbukti dia kembali bertanya.
“Apa hubungannya bersyukur dengan secangkir gelas kosong tadi Mba?,”
“Cerdas
kamu Dek!,” seru saya. “Tadi kita sudah sampai pada air yang tertuang
di gelas kosong itu kan? Nah, sekarang apa yang tertuang di gelas kosong
itu adalah cara kita mensyukuri kehidupan,” papar saya sedikit lebih
bersemangat. Dia masih saja hanya mengangguk ringan. “Adek pasti
seringkan buat minuman? Entah itu susu, teh, kopi atau malah hanya air
putih”. Dia tampak meng-iyakan. “Sama dengan kehidupan, Dek. Air yang
dituang dalam gelas kosong itulah yang disebut nikmat hidup, ada yang
berbentuk air susu, air teh, kopi atau hanya sekedar air putih,” jelas
saya. “Dari situlah kita belajar bersyukur. Untuk apa? Untuk mensyukuri
apapun air yang tertuang dalam gelas itu. mensyukuri apapun yang terjadi
di kehidupan kita”. Tutup saya dengan anggukan. Jujur saja, filosofi
itu spontan saya utarakan. Jadi saya manggut-manggut sendiri ikut
meng-iyakan kalimat saya.
“Benar begitu Mba?,” tanyanya memastikan. Saya mengangguk mantap. Dia nampak mengembangkan senyumnya dengan wajah berbinar.
“Besok
mau aku pakai untuk tugas sekolah ya Mba, lumayan dapet satu
pencerahan. Pertanyaannya susah sih. Makasih Mba,” dia mengeratkan
peganggannya di pinggang saya.
Dan akhirnya
motor saya berhenti dengan selamat di depan sekolahnya. Seperti biasa,
dia mengecup punggung tangan saya sambil berlari riang ke dalam
sekolah. 'Dia tetap anak kecil,’ gumam saya sambil berbalik arah untuk pulang
0 comments:
Post a Comment